Share | Tweet |
|
Pada puncak era Perang Dingin tahun 1980-an, istilah armageddon sering muncul. Ringkas kata, di luar kaitannya dengan sejarah agama-agama, ini adalah pertempuran habis-habisan dengan menggunakan senjata nuklir milik AS dan Uni Soviet yang jumlahnya saat itu sangat banyak. Dengan hulu ledak sekitar 50.000, dayanya sudah berlebih untuk overkill, menghancurkan dunia berulang kali.
Armageddon juga menjadi judul film yang dibintangi Bruce Willis (1998). Film ini berkisah tentang kiamat yang akan dialami Bumi dan penghuninya apabila asteroid seukuran Texas yang orbitnya melenceng dibiarkan menghantam Bumi (Dalam dunia nyata, ancaman ini, meski jarang, selalu ada. Bila jatuh di lautan, hantaman benda angkasa besar ini bisa menimbulkan apa yang dikenal sebagai tsunami kosmik).
Armageddon Perang Dingin bisa membuahkan musim dingin nuklir, sebagaimana bencana global serupa yang pernah dialami Bumi sekitar 65 juta tahun silam, yang dipercayai lalu melenyapkan dinosaurus.
Kini, istilah mirip dengan armageddon muncul lagi, tetapi termodifikasi jadi snowmageddon. Melihat istilah itu, asosiasi kita pun melayang ke bencana yang ditimbulkan oleh badai salju yang luar biasa. Tidak salah lagi, itulah istilah yang dicetuskan oleh Presiden AS Barack Obama tanggal 6 Februari lalu saat mengomentari badai salju yang membungkus dan melumpuhkan ibu kota AS, Washington DC.
Dalam konteks perubahan iklim dan pemanasan global sekarang ini, snowmageddon sulit dipisahkan dari fenomena cuaca ekstrem yang beberapa waktu terakhir ini banyak menjadi berita dunia.
Sejumlah kalangan di AS menjadikan snowmageddon untuk menegaskan lagi bahwa perubahan iklim itu benar-benar sudah terjadi walaupun sebagian justru percaya sebaliknya, pemanasan global itu omong kosong. Terhadap kalangan ini, Eugene Robinson dalam komentarnya di harian The Washington Post (The Jakarta Globe/JG, 20/21/2) menyebut, data awal suhu rata-rata untuk bulan Januari lebih hangat dari biasanya. Peserta karnaval tahunan di Rio de Janeiro menyatakan, terik matahari kali ini sungguh tidak biasa.
Dekade terpanas
Apakah perasaan ”lebih panas dari biasa” atau ”lebih panas dari tahun-tahun sebelum ini” sekadar perasaan atau fenomena riil? Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) sudah memastikan, dasawarsa yang berakhir pada 2009 merupakan dekade terpanas dalam catatan rekor mutakhir. Badan ini juga menemukan bahwa tahun 2009 merupakan tahun kedua terpanas sejak tahun 1880 ketika pengukuran suhu modern dimulai (John Broder/International Herald Tribune/IHT, 23- 24/1). Menurut catatan, tahun paling panas adalah tahun 2005 dan tahun-tahun terpanas lain terjadi semenjak tahun 1998.
Laporan NASA di atas juga menjadi pendukung baru bagi fenomena pemanasan global meski disebut bahwa itu bukan kata akhir dalam memastikan bahwa suhu Planet Bumi akan terus naik (Direktur NASA James E Hansen dalam soal ini sering diserang oleh pihak yang skeptik terhadap pemanasan global. Ia disebut acap menggunakan data suhu secara selektif).
Namun, di luar skeptisme yang masih terus ada, faktanya tren kenaikan suhu tercatat 0,2 derajat celsius per dasawarsa dalam 30 tahun terakhir. Suhu global rata-rata sudah naik 0,8 derajat celsius sejak tahun 1880.
Pembuat kebijakan yang hadir di KTT Perubahan Iklim di Kopenhagen, Desember lalu, menyepakati satu sasaran untuk menahan kenaikan suhu global rata-rata sampai 2 derajat celsius dalam upaya untuk menghindar dari efek pemanasan global yang paling buruk.
Di antara panas di Rio de Janeiro dan snowmageddon di Washington, ada laporan lain tentang kacau balaunya cuaca. Di Filipina, setelah berbulan-bulan dilanda taifun, negeri itu kini dilanda kekeringan. Gejala alam El Nino—yang sebelum ini sudah punya mekanisme sendiri—kini mengancam panen dan berikutnya juga bahan pangan serta penyediaan listrik. Yang terakhir ini disebabkan oleh langkanya air, membuat bendungan hidroelektrik tak bisa berfungsi normal.
Juru Bicara Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, Jumat pekan silam, meminta rakyat Filipina menampung air bekas mandi supaya bisa dipakai untuk mengguyur toilet. (IHT, 20/21/2)
Pengalaman terakhir Filipina ini menggarisbawahi betapa perubahan iklim dan gangguan cuaca menimbulkan rentetan efek panjang, mulai dari sekadar kegerahan atau ketidaknyamanan cuaca hingga ke gangguan panen, kelangkaan pasokan air, dan pemadaman listrik.
Urgensi baru
Di AS, pihak yang skeptik pemanasan global bahkan sempat mengolok-olok Al Gore, tokoh yang banyak membangkitkan kesadaran masyarakat dunia akan fenomena itu melalui buku dan film An Inconvenient Truth. Ada juga senator yang—seperti dikutip Eugene Robinson—yakin bahwa salju akan terus turun sampai Al Gore mengaku keliru.
Akan tetapi, dengan dukungan bukti dari tempat-tempat lain, juga temuan NASA di atas, pengolok-olok pemanasan global sebaiknya segera sadar bahwa gejala itu bukan saja nyata, tetapi buktinya sudah bersama kita.
Mau tak mau, kita juga memperhitungkan gejala alam lain yang terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini. Masih terngiang apa yang dikemukakan oleh Komisioner Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) yang juga mantan Perdana Menteri Portugal Antonio Guterres bahwa gempa bumi, siklon, tsunami, banjir, dan tanah longsor merupakan bencana alam yang frekuensinya lipat dua dalam dua dekade terakhir. Selain frekuensinya meningkat, katastrofi tersebut juga bertambah intensitasnya, meningkat daya penghancuran serta ancamannya terhadap kehidupan manusia. Pada tahun 2008, ada sekitar 36 juta orang yang tiba-tiba harus tergusur oleh fenomena alam ini, tambahnya (IHT, 11/12/09).
Semoga semua itu bisa menjadi bukti cukup untuk bertindak lebih giat lagi dalam memerangi pemanasan global yang banyak diyakini menjadi penyebab munculnya berbagai cuaca ekstrem yang hari-hari ini semakin sering kita amati.
0 comments:
Posting Komentar