Share | Tweet |
|
Berpuluh-puluh tahun warga keturunan Tionghoa di Indonesia tidak bisa merayakan tahun baru Imlek. Selama orde baru, kebebasan mereka memang dikekang oleh pemerintah. Namun saat Presiden Abdurrahman Wahid berkuasa, Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional.
Catatan berikut menggambarkan rentetan sejarah Imlek di Indonesia:
14 November 1740. Ribuan orang keturunan Tionghoa dibunuh di Batavia oleh Belanda. Tanpa ampun, tubuh mereka di lempar ke sungai di utara Jakarta sehingga menjadi merah darah. Itulah sungai yang sekarang dikenal dengan Kali Angke (Angke=Merah). Setelah itu, mereka tiarap dan bersikap apolitis hampir dua abad lamanya.
1955-1965. Orde lama di bawah Soekarno memberi ruang terhadap warga keturunan Tionghoa. Lewat poros Jakarta-Peking, nyaris Indonesia tiada sekat dengan negara tirai bambu tersebut. Suntikkan dana dan hibah dari Cina pun mengalir. Salah satunya bantuan ribuan mata cangkul hasil lobi DN Aidit. Pada era ini, juga tidak sedikit keturunan Tionghoa yang menjadi menteri.
1965-1997. Setelah runtuhnya rezim Orde Lama, ribuan orang keturunan Tionghoa kembali terlunta-lunta. Tidak sedikit yang dibunuh. Saat Soeharto berkuasa ini, keturunan Tionghoa hanya diberi ruang di sektor bisnis perdagangan. Tapi tetap bersikap apolitis. Meski populasinya sedikit, tetapi menguasai hampir seluruh sektor perekonomian.
1998. Jelang reformasi, ratusan perempuan keturunan ini diisukan diperkosa dan tidak sedikit yang jadi korban akibat kekerasan yang meluas di sejumlah kota. Pertokoan yang diidentikkan dengan etnis tersebut mengalami penjarahan. Belum jelas hingga kini siapa pelakunya. Semua masih penuh misteri.
2000. Era Presiden Abdurrahman Wahid, tahun baru penanggalan Cina di jadi iklan sebagai hari libur nasional. Simbol kecinaan pun bebas beredar, seperti tari barongsai dan upacara di Klenteng.
2008. Imlek masih bisa menghirup udara libur nasional. Meski hanya meriah di kalangan keturunan Tionghoa semata, gaung sketsa perubahan peradaban itu terus menggema.
Hubungan Abdurrahman Wahid, Imlek dan Pluralisme
Gus Dur, itulah panggilan nama lengkap mantan Presiden Indonesia keempat KH. Abdurrahman Wahid. Ketokohannya tidak hanya diakui oleh masyarakat Indonesia tetapi juga oleh dunia internasional.
Beberapa atribut bisa dilekatkan kepadanya. Mulai dari mantan presiden, mantan ketua Nahdhatul Ulama (NU), pendekar demokrasi, pembela minoritas dan bapak pluralisme. Kegigihannya membela nilai-nilai pluralisme dan dialog antar agama membuatnya pernah mendapatkan penghargaan Medals of Valor dari The Simon Wiesenthal Center di Amerika Serikat.
Kaum Tionghoa di Indonesia secara bebas dan meriah bisa merayakan tahun baru Imlek, secara otomatis orang ingat atas sosok Gus Dur sang pembela kaum minoritas ini.
Gus Dur adalah orang yang pertama mencabut Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967. Inpres yang dikeluarkan oleh Allahyarham Soeharto ketika awal berkuasa pada tahun 1967 itu melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga. Karena Inpres tersebut, selama masa Orde Baru, aktifitas kaum Tionghoa seolah-olah dibatasi, tidak hanya dalam merayakan pesta agama tetapi juga partisipasi politik kelompok ini ditekan selama pemerintahan Soeharto.
Tak heran kalau jarang sekali kaum Tionghoa yang bisa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) apalagi menjadi anggota parlemen, atau menduduki jabatan tinggi di pemerintahan seperti menjadi bupati, gubernur dan menteri di kabinet.
Gus Dur mencabut larangan inpres itu karena dianggap diskriminatif padahal perlembagaan negara UUD 1945 menjamin perlindungan semua warga. Kalau yang lain bisa ke masjid, gereja, atau ke makam untuk ziarah, kenapa orang Tionghoa tidak boleh ke kelenteng? demikian alasan Gus Dur.
Setelah Gus Dur mencabut inpres tersebut, Megawati presiden selanjutnya mengeluarkan Keppres No 19/2002 yang isinya menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Inisiatif Gus Dur mencabut inpres tersebut telah membuka jalan persamaan hak bagi warga Tionghoa untuk tidak ragu merayakan hari besarnya dan juga secara bebas terjun ke politik. Pasca reformasi, tercatat beberapa tokoh Tionghoa berkibar di ranah politik Indonesia. Sebut saja diantaranya Kwik Kian Gie yang menjadi Menteri pada Kabinet Gus Dur, begitu juga Alvin Lie yang menjadi anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Mari Elka Pangestu yang sekarang menjadi Menteri pada pemerintahan Yudhoyono.
Begitu juga di tingkat lokal, banyak etnis Tionghoa yang bisa menjadi pejabat di daerah. Sebut saja Basuki Tjahaja Purnama yang menjadi bupati Bangka dan Christiandy Sanjaya menjabat sebagai wakil gubernur Kalimantan Barat.
Dahlan Iskan, pemimpin surat kabar Jawa Pos, yang mempopulerkan istilah Tionghoa menggantikan sebutan orang China di Indonesia, menyebutkan bahwa sebelum reformasi kaum Tionghoa di Indonesia terbagi kepada tiga kelompok yaitu totok, peranakan dan hollands spreken.
Totok merujuk kepada kaum Tionghoa yang orangtuanya lahir di Tiongkok sementara dia lahir di Indonesia. Peranakan menunjukkan bahwa beberapa keturunannya sudah lahir di Indonesia dan hollands spreken merujuk kepada kaum Tionghoa Indonesia yang mampu berbahasa Belanda, berpenampilan lebih modern dimanapun dia dilahirkan. P
embagian kategori ini dalam sejarah Indonesia menunjukkan adanya perbedaan derajat dan status ekonomi kaum Tionghoa saat itu. Kaum peranakan bekerja di bidang pertanian dan perkebunan; orang totok menjadi penjual jasa dan pedagang kelontong; sementara kelompok hollands spreken identik dengan kaum terpelajar dan bahkan sekolah ke luar negeri.
Ketiga kelompok ini secara tegas terpisahkan dan tidak bisa saling berhubungan satu sama lain dalam pergaulan sosial. Bahkan antara kaum totok, peranakan dan hollands spreken tidak bisa menikah lintas kelompok. Tapi itu cerita dahulu, terutama sebelum kran demokratisasi dan reformasi dibuka pasca runtuhnya regime Soeharto.
Sekarang peleburan dan persamaan hak baik sosial, ekonomi maupun politik telah meruntuhkan diskriminasi itu. Tidak hanya diantara sesama warga Tionghoa itu sendiri bahkan mereka sekarang menjadi sejajar dengan suku apa pun di Indonesia. Sekarang, tidak ada lagi halangan bagi kelompok totok untuk menikah dengan kelompok hollands spreken, bahkan adalah hal yang biasa kalau orang Tionghoa sekarang menikah dengan suku apapun di Indonesia seperti dengan suku Jawa, Sunda, Batak atau yang lainnya.
Tidak perlu lagi para anak Tionghoa mengganti namanya yang berbau Chinese dengan nama yang berbau Jawa dan Indonesia. Zaman Soeharto, nama Soe Hok Djien kalah populer dengan nama Indonesianya Prof. Arif Budiman, begitu juga Nio Hap Liang, pemain bulutangkis terkenal Indonesia, lebih dikenal dengan sebutan Rudi Hartono. Begitu juga kaum Tionghoa Indonesia sekarang tidak perlu lagi takut untuk menjadi anggota polis, tentara dan menteri atau pejabat negara lainnya.
Inilah tentunya berkah dari terbukanya kran demokratisasi di Indonesia dan jasa Gus Dur sebagai bapak pluralisme. Tentu saja usaha Gus Dur membela kaum minoritas di Indonesia seperti kaum Tionghoa perlu diapresiasi.
Bentuk penghargaan itu tentunya tidak cukup hanya berhenti pada pemberian gelar bapak pluralisme kepada Gus Dur. Yang lebih penting adalah pemerintahan setelah Gus Dur dituntut tidak hanya mempertahankan kebebasan dan persamaan hak yang telah diperjuangkan Gus Dur tetapi juga terus mengembangkan semangat saling menghargai dan menghormati sesama warga Indonesia yang memang unik dengan berbagai macam suku, agama dan adat istiadat.
Pemerintahan Yudhoyono kini harus terus berjuang menjadikan realitas pluralitas bangsa Indonesia ini sebagai modal dan kekayaan budaya bangsa bukan sebagai sumber konflik. Jangan lagi kita dengar di bumi Indonesia ada diskriminasi, saling mencurigai dan saling menyerang disebabkan karena masalah perbedaan etnis dan agama.
Konflik agama seperti yang terjadi di Ambon atau konflik etnis yang terjadi antara suku Dayak dan Madura pada zaman dahulu tidak boleh terulang dan perlu dijadikan pelajaran oleh semua komponen bangsa Indonesia.
Generasi sekarang harus semakin faham bahwa realitas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural. Semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatukan etnis-etnis di Indonesia kedalam satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air bernama Indonesia perlu terus dipegang oleh generasi sekarang. Bukankah para bapak bangsa (founding fathers) seperti Soekarno dan Hatta telah menjadikan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) sebagai semboyan berdirinya republik Indonesia. Semangat inilah yang semestinya terus diwariskan oleh tokoh-tokoh politik dan pemerintahan di Indonesia kepada generasi selanjutnya.
Dan Gus Dur, presiden keempat Indonesia itu sudah memberikan contoh. Ini karena Gus Dur faham betul dengan sejarah bangsa dan cita-cita kemerdekaan para pendiri bangsa ini. Gus Dur tidak hanya faham arti demokrasi tetapi juga terus berjuang menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Gus Dur, dengan demokrasi, segala bentuk diskriminasi dan pembedaan berdasar apa pun tidak relevan lagi dan harus diakhiri.
0 comments:
Posting Komentar